Sabtu, 05 Mei 2012

Perdagangan Bebas di Indonesia



Implikasi dan kebijakan kerja sama antara Indonesia, China dan Jepang

1. China
Implikasi dari kebijakan perdagangan bebas antara Indonesia dan China

Pemerintah Indonesia dan China akan menetapkan tahun 2010 sebagai tahun persahabatan bagi Indonesia dan China. Hal ini ditandai dengan berlakunya perjanjian kerjasama perdagangan bebas atau yang dikenal CAFTA antara kedua negara ini. Langkah ini dilakukan setelah pada tingkat regional, ASEAN telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 ini.

Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah atas persetujuan perjanjian perdagangan bebas tersebut, terutama dari kesiapan kalangan industri-industri dalam negeri kita, serta faktor-faktor pendukung dalam meningkatkan daya saing terhadap produk-produk China. Kemudian apakah China merupakan negara yang tepat dalam menjalin kerjasama dalam perdagangan bebas tersebut? Hal ini lah yang menjadi perhatian kalangan para industri.

Seperti telah kita ketahui dalam praktiknya, pasar China hanya menyumbang sedikit dari rata-rata pendapatan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara itu. Pasar China hanya menyumbang kurang dari 2 persen dari penjualan peruahaan sekaliber Pfizer, Astra-Zeneca, dan Bayer. Contoh lain, Procter and Gamble (P&G), salah satu perusahaan manufaktur multinasional raksasa yang hanya mendapatkan kurang dari 5 persen dari total pendapatannya dipasar China (The Economist, 17 Oktober 2009). Praktik proteksionisme tetap terjadi di RRC, bahkan pasca tergabungnya negara itu dalam rezim perdagangan bebas WTO pada tahun 2001.

Sampai dengan 2007, nilai impor Indonesia terhadap RRC telah mencapai 8,5 miliar dollar Amerika Serikat. Angka ini menempati urutan kedua dalam daftar Negara importer ke Indonesia. Peringkat pertama ditempati Singapura dengan nilai sebesar 9,8 miliar dollar AS, sedangkan RRC hanya menjadi tujuan terbesar keempat dalam ekspor Indonesia setelah Jepang, AS, dan Uni Eropa.

Ironi masih terjadi di dalam negeri. Jika dilihat dari indeks produksi industri sedang dan besar pada triwulan I tahun 2008, hampir semua sector dalam industri manufaktur di Indonesia mengalami penurunan. Hanya ada empat sektor yang mengalami penguatan, yakni industri makanan dan minuman, indsutri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta industri furniture dan pengolahan lainnya.

Fakta ini ditunjukkan dari melemahnya pertumbuhan kredit untuk bisnis dan individu selama bulan November 2008 ke bulan Mei 2009 dari 45 persen dan 30 persen menjadi 16 persen dan 22 persen. Pelemahan kredit ini tentu akan berdampak negatif bagi prospek industrialisasi ke depannya. Hal ini ditambah dari persentase kredit macet (nonperforming loans) mencapai 4,5 persen pada bulan Juni 2009, angka ini meningkat 0,7 persen sejak Desember 2008.

Indikator manufaktur dan usaha lainnya dapat dilihat dari gejala penurunan angka penjualan truk/pick up yang identiknya digunakan untuk keperluan usaha. Dibandingkan dengan tahun 2004 yang penjualannya mencapai 164.001 unit (Gaikindo,2008). Meski demikian, terjadi peningkatan jumlah pembelian dari tahun 2006 ke tahun 2007 dengan angka yang cukup besar, yakni sekitar 60.000 unit. Artinya, peningkatan penjualan kendaraan usaha yang berbanding terbalik dengan penurunan performa industri manufaktur menunjukkan bahwa factor konsumsilah yang menentukan. Jika diasumsikan linier, maka kedepan pertumbuhan impor diprediksi akan meningkat pesat untuk menopang konsumsi nasional yang juga meningkat.

Sangat disayangkan upaya untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional belum mencapai harapan. Paket stimulus yang diberikan pemerintah hanya sekitar 15,5 persen, diantaranya untuk mengangkat infrastruktur penopang lapangan pekerjaan, seperti proyek pengairan, perumnas jalan, dan pelabuhan. Adapun sebagian besar dari paket stimulus pemerintah diarahkan pada insentif pajak yang mana lagi-lagi akan meningkatkan konsumsi masyarakat

Masuknya produk China tentu akan semakin memberikan keuntungan baginya karena konsumsi dalam negeri kita yang semakin meningkat, tetapi sekaligus menjatuhkan industri manufaktur nasional Indonesia. Padahal, dari seluruh sector ekonomi penyumbang produk domestic bruto Indonesia, industri manufaktur hingga tahun 2008 masih menempati urutan pertama dengan persentase sebesar 27,8 persen. Posisi kedua adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan persentase 14,3 persen dan posisi ketiga adalah perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 13,9 persen.

Dari sini dapat kita lihat bahwa perdagangan bebas yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 ini akan mengancam industri dalam negeri kita. Hal ini disebabkan penandatangan perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan China tanpa melibatkan para industriwan yang merupakan aktor utama dalam persaingan tersebut.

Penandatangan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China yang tanpa melibatkan para industriwan, sehingga kebanyakan industri-industri dalam negeri kita masih banyak yang belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut. Sungguh ironis sekali, industri-industri dalam negeri kita diajak untuk merintis dari bawah hingga tercapai perjanjian tersebut.

Apabila kalau kita lihat dari kesiapan negara China dalam menghadapi pasar bebas tersebut, mereka sudah mempersiapkan pembangunan industrinya secara serius. Hal ini dapat kita lihat dari pembangunan infrastruktur yang sudah memadai, energi sangat mendukung aktifitas industri, serta bunga kredit yang begitu rendah jika dibandingkan di Indonesia. Bunga kredit di China bisa mencapai 4% pertahun, dan juga China pun sengaja memperlemah kurs mata uangnya serta pemberian insentif pajak terhadap industri-industri dalam negerinya. Hal ini berlawanan dengan keadaan sebenarnya di Indonesia. Ditengah gencar-gencarnya dalam menghadapi perdagangan bebas di Indonesia, pemerintah kurang memperhatikan kesiapan industri dalam negeri kita. Banyak faktor-faktor yang dianggap penting dalam mendukung daya saing produk kita yang kurang mendapat perhatian serius oleh pemerintah kita. Bunga kredit yang tinggi, infrastruktur yang masih belum memadai, serta faktor-faktor pendukung lainnya yang dianggap penting yang sangat butuh perhatian pemerintah kita dalam menyikapi hal tersebut.

Jika infrastruktur di Indonesia di benahi secara serius, hal itu dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri kita dalam menghadapi perdagangan bebas. Infrastruktur yang tidak memadai mengakibatkan biaya produksi industri menjadi tinggi, sehingga menyebabkan para pengusaha merasa kesulitan dalam bersaing menghadapi produk China dalam perdagangan bebas. Untuk itu pemerintah diharapkan membenahi kembali secara serius faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam meningkatkan daya saing industri kita terhadap produk-poduk impor China ke Indonesia.

Kebijakan dalam Menyikapi CAFTA di Indonesia

Ada beberapa hal yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam menyikapi kebijakan persetujuan perdagangan bebas antara ASEAN dengan China yang telah berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 2010 lalu.
Pertama, pemerintah harus membenahi kembali infrastruktur di Indonesia, karena pembangunan infrastruktur di Indonesia masih belum memadai jika dibandingkan lawan kita dalam bersaing seperti China.

Kedua, suku bunga yang tinggi yang menjadikan beban berat yang ditanggung oleh pengusaha kita. Untuk itu pemerintah perlu menurunkan kembali suku bunga kredit melalui BI selaku pemegang otoritas moneter.

Ketiga, pemerintah perlu mensosialisasikan cinta produk dalam negeri kepada masyarakatnya, karena produk yang dihasilkan didalam negeri memiliki kualitas yang tak kalah sama dengan yang diproduksi dari China, semangat nasionalisme masyarakat kita perlu dibangun kembali.

2. JEPANG dan INDONESIA (IJ – EPA)

Perjanjian perdagangan bebas antara jepang dan Indonesia yang telah disepakati, menyangkut beberapa hal penting di antaranya :

a. Fasilitasi Perdagangan dan investasi :
   - Upaya bersama untuk memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan tingkat kepercayaan bagi investor   Jepang;
   - Kerjasama di bidang prosedur kepabeanan, pelabuhan dan jasa-jasa perdagangan, HKI, standar
b. Liberalisasi: menghapuskan/mengurangi hambatan perdagangan dan investasi (bea masuk, memberi kepastian hukum);
c. Kerjasama: kesepakatan untuk kerjasama dalam meningkatkan kapasitas Indonesia sehingga lebih mampu bersaing dan memanfaatkan secara optimal peluang pasar dari EPA.

Ada beberapa keuntungan yang didapat dari perjanjian perdagangan bebas jepang dan Indonesia antara lainnnya :

1. Kesepakatan liberalisasi pasar oleh jepang mencakup lebih dari 90 % barang yang diekspor Indonesia ke Jepang, termasuk produk industri dan agribisnis.
2. Komitmen ini akan memberikan peluang yang setara kepada Indonesia di pasar Jepang dalam menghadapi negara pesaing-pesaing lainnya
3. Komitmen ini memberikan keuntungan ke beberapa produk industri antara lain produk sektor industri yang padat karya. Seperti produk kayu, hal ini diharapkan akan meningkatkan produksi industri perkayuan indonesia.
4. Komitmen di bidang jasa tenaga kerja (mode 4- movement of natural persons) akan memberikan peluang untuk pengiriman tenaga kerja terampil seperti juru rawat, pekerja disektor hotel dan pariwisata, dan pelaut.

Manfaat Investasi dari EPA
Indonesia merupakan salah satu negara tujuan penting bagi investasi Jepang, walaupun peringkatnya sebagai negara tujuan menurun sejak krisis ekonomi. Aliran terbesar adalah ke sektor otomotif/sukucadang, elektrik/elektronik dan sektor kimia serta peralatan kantor. Indonesia dapat memperdalam struktur industri dengan investasi industri pendukung (components, parts, mould and dies), di mana supplier Indonesia dapat juga berkembang dengan fasilitasi dari Manufacturing Industry Development Center (MIDEC). Investasi dapat mengembangkan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan Indonesia,dimana kemitraan dan keikutsertaan UKM dapat difasilitasi dengan berbagai proyek kerjasama.termasuk di bidang energi bio-fuel yang juga akan di fasilitasi melalui proyek kerjasama. Di bidang jasa, aliran terbesar adalah ke sektor keuangan dan asuransi,perdagangan, transportasi dan real estate. EPA juga akan meningkatkan iklim usaha dan mendorong kepercayaan bisnis melalui perbaikan/kepastian hukum bagi investor. Hasil EPA dan paket kebijakan investasi lain yang sedang dilakukan Pemerintah RI diharapkan akan menjadi kerangka hukum baru dan penting dalam meningkatkan kepercayaan dan memberikan perlakuan lebih baik dan pasti (UU Penanaman Modal, Revisi UU Pajak dan Bea Cukai), Keuntungan EPA diharapkan akan memberikan daya tarik bagi investor asing berinvestasi di Indonesia Manfaat Kerjasama di Bidang Peningkatan Kapasitas (Cooperation in CapacityBuilding) Selain sepakat untuk menghapuskan/mengurangi bea masuk, kedua negara juga menyepakati kerjasama dalam rangka peningkatan kapasitas produsen penghasil produk industri pertanian, perikanan dan kehutanan.

5 Aspek Kerjasama di bidang akses pasar merupakan hal penting dari EPA, dan inilah alasan mengapa disebut WTO plus. Kerjasama tersebut meliputi:
- Pembangunan Pusat Industri Manufaktur yang berfokus pada Otomotif, Mould and Dyes, dan Welding.
- Kerjasama untuk menjamin ketersediaan Sumber Perikanan secara berkesinambungan (Sustained Marine Resources) merupakan hal penting dalam kerjasama dan membantu Indonesia memelihara sumber bahari dalam jangka panjang.
- Agribisnis akan diuntungkan dari beberapa proyek seperti Pengembangan Pusat Makanan dan Minuman dan juga program lain untuk para petani kecil dan nelayan.
- Jepang akan memperpanjang bantuan teknis di sejumlah sektor lain yang penting (antara lain energi, pelatihan tenaga kerja dan ketrampilan, industri manufaktur, agribisnis, perikanan, promosi ekspor dan UKM).
- Pemanfaatan kayu (ukuran kecil) untuk industri guna membantu industri sektor kehutanan.
Kerjasama ekonomi dan teknis di bidang pelatihan dan penelitian yang akan dibahas lebih lanjut.

Kemampuan Indonesia sebagai suatu negara atau daerah-daerah sebagai suatu kawasan menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas sangat tergantung pada daya saing relatif dari sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (daerah). Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat daya saing suatu industri atau sektor, diantaranya adalah yang umum disebut Revealed Comparative Advantage (RCA) Index sesuai formula dari Balassa. Indeks ini membandingkan pangsa dari suatu produk di ekspor suatu negara (misalnya Indonesia atau misalnya Jawa Barat dilihat pada tingkat regional) dengan pangsa dari produk tersebut didalam ekspor total dunia (pasar dunia). Nilai indeks = 1 menandakan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan relatif (tingkat spesialisasinya tinggi) terhadap produk tersebut, dan sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari 1 berarti daya saing Indonesia untuk produk tersebut rendah, dibawah rata-rata dunia.

Implikasi perdagangan Indonesia dan jepang adalah hal yang harus menjadi perhatian pemerintah atas persetujuan perjanjian perdagangan bebas tersebut, terutama dari kesiapan kalangan industri manufaktur yang berfokus pada otomotif dan elektronik dalam negeri kita, serta factor-faktor pendukung dalam meningkatkan daya saing terhadap produk-produk Jepang.

Kebijakan ini bisa dimanfaatkan dengan memperluas pemasaran hasil industri indonesia dan mentransfer tekhnologi dan menambah pendapatan negara, perjanjian ini diharapkan akan memperluas kesempatan kerja di indonesia dengan investasi yang dilakukannya.



sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/01/30/perdagangan-bebas-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar